NYATANYA.COM, Yogyakarta – Setelah sempat tertunda akibat pandemi Covid-19, ARTJOG MMXXI: Arts in Common – Time (to) Wonder sebagai seri kedua akhirnya dilaksanakan di Jogja National Museum (JNM) , 8 Juli sampai 31 Agustus 2021.
Penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat (PPKM ) darurat dan PPKM Level 4 yang kembali diperpanjang sampai 9 Agustus mendatang, mengharuskan ARTJOG berjalan dengan format daring di awal gelaran.
Dan baru beberapa hari usai PPKM Level 4 berjalan, gelaran senirupa terbesar dan bergengsi ini dilaksanakan dengan cara presentasi gabungan antara luring dan daring, tentunya dengan pembatasan jumlah pengunjung dan dilakukan dengan prosedur kesehatan yang baik dan sesuai dengan arahan pemerintah.
Beruntung wartawan nyatanya.com, diberi kesempatan menikmati karya-karya terbaru dari para perupa yang ikut ambil bagian dalam helatan bertema Arts in Common – Time (to) Wonder ini, Rabu (4/8/2021).
Sebuah kesempatan yang tentu tak bisa disia-siakan begitu saja. Meski harus menerapkan prokes ketat dan memenuhi ketentuan yang diterapkan panitia dalam pelaksanaan pameran ini. Benar saja, hari itu tak banyak kuota bagi wartawan yang hadir untuk melakukan liputan dan pemotretan karya yang disuguhkan.
Namun dengan begitu, justru menjadi nyaman dan banyak waktu untuk bisa menikmati karya-karya yang disajikan, sekaligus merenung dan ‘bersemedi’ dalam sunyi di ruang pamer demi bisa memahami atau setidaknya mendekati ruang hati para perupa lewat karya-karyanya mereka.
Seperti karya Marga Pangestu yang meniadi gerbang penyambut kita, berupa lorong kaca beraneka warna melahirkan bayang dalam warna baru yang terbentuk dari cahaya yang disinarkan oleh sang surya.
“Hidup senantiasa bergerak mencari jalannya. Menjurus cahaya melalui warna-warni badai. Dimana keimanan menaklukkan ketidakpastian, mengiringi diriku menari dalam hujan, Sukacita bersemi dalam hampa sepi. Geliat kasih yang hakiki dengan restu-Mu,” demikian konsep Marga Pangestu dalam karya ini.
Atau karya kolaborasi Irene Agrivina dan Caroline Rika berjudul “Fabrika Architectura”, yang bertutur tentang manusia yang telah mengenal produksi teksil selama ribuan tahun. Tekstil diidentikan sebagai bahan sebelum dirajut, ditenun, diikat atau dipres menjadi bagian tubuh yang fleksibel.
Dalam karya ini, Irene Agrivina sebagai seniman teknologi dan Caroline Rika yang seorang desainer tekstil berkolaborasi untuk menumbuhkan konstruksi tekstil baru di tempat yang paling tidak mungkin.
Atau juga menikmati karya Jumpit Kuswidananto dengan karya Instalasi berjudul Love is A Many Splendored Thing. Bagaimana seorang Jumpit memaknai alam dan keindahan yang lazim dilihat orang, tetapi berbeda dengan yang diraba rasa oleh Jumpit yang menggambarkan keadaan absurd.
Seorang pengarang pernah membuat cerita bagaimana ia mencuri senja untuk dipersembahkan pada kekasihnya. Senja dan cakrawala pun telah muncul dan tenggelam dalam nyanyian lagu pop di sekitar kita.
Tapi dimata batin dan alam pikir seorang Jumpit hal itu ditangkap berbeda. Ketika Jompet berdiri di bibir pantai dan menatap cakrawala, angan ‘liarnya’ membawanya kepada imaji tentang ketakterbatasan.
Suatu kali dia membayangkan dirinya bagai berada di dalam lukisan. Lalu di lain waktu suasana itu membawanya kepada imaji tentang tanah dan air; tanah air.
Melalui situasi berdiri di bibir pantai dan menatap cakrawala, Jompet hendak menghadirkan romantisisme dalam sejarah Indonesia. Sejarah tentang penaklukan, tentang kehancuran, tentang perlawanan, tentang perjuangan, tentang kekalahan, dan tentang kemenangan.
Dengan membentangkan instalasi yang tersusun di antaranya oleh pasir dan retakan kaca seluas pandang, imaji cakrawala kemudian dihadirkan. Ingatan barangkali memang getas dan mudah retak.
“Sejarah barangkali memang tersusun atas puing-puing kekacauan, atas luka dan kemungkinannya melukai, yang terus menerus dibuat mengkilap; berkilauan dan menyilaukan,” tutur Jumpit Kuswidananto sambil berdiri dan menatap cakrawala.
Seperti diketahui, pemilihan seniman untuk ARTJOG tahun ini dilakukan melalui undangan dan seleksi panggilan terbuka. Alhasil, sebagian sebagian besar seniman yang terpilih merespon acuan kuratorial Time (to) Wonder dengan karya-karya seputar ingatan dan sejarah.
Tim Kurator ARTJOG, Agung Hujatnikajennong, Bambang ‘Toko’ Witjaksono, dan Ignatia Nilu sepakat menganggap hal ini sebagai sebuah fenomena menarik.
“Boleh jadi,imajinasi seniman-seniman kita tentang waktu lebih dikendalikan oleh warisan masa lalu, ketimbang proyeksi masa depan,” kata Bambang dalam jumpa pers yang digelar di Pulang ke Uttara dan virtual, Kamis (1/7/2021) lalu.
Imajinasi seniman-seniman dalam pameran ini seperti lebih dikendalikan oleh warisan masa lalu, ketimbang proyeksi masa depan. Apakah kecenderungan regresif ini merepresentasikan perspektif budaya masyarakat Indonesia secara umum?
“Tentu ini adalah topik yang menarik terutama jika dikaitkan dengan pemahaman tentang ‘seni rupa kontemporer’ yang selama ini justru identik dengan ‘hari ini’,” imbuh kurator yang lain, Agung Hujatnikajennong.
“Praktik seni selalu mewakili refleksi mendalam atas pemahaman manusia tentang sebuah hal pada suatu zaman. Meski tidak selalu termanifestasikan dalam kesimpulan-kesimpulan yang terformulasi secara objektif dan sistematis (seperti dalam sains), eksperimen kreatif para seniman mampu menyingkap—secara idiosinkratik dan kadang tak terduga—berbagai misteri dunia yang tak terpecahkan,” sambung Ignatia Nilu.
Untuk diketahui ARTJOG MMXXI: Arts in Common – Time (to) Wonder kali ini dikuti 41 perupa, seperti Eko Nugroho (Yogya), Eldwin Pradipta (Bandung), Entang Wiharso (Amerika), F.X. Harsono (Jakarta), Galih Adika Paripurna (Bandung), Mella Jaarsma (Yogya), Mohamad ‘Ucup’ Yusuf (Yogya), Theresia ‘Tere’ Agustina Sitompul (Yogya, dan masih banyak lagi.
- Penulis: Agoes Jumianto, kartunis dan wartawan nyatanya.com