NYATANYA.COM, Magelang – Melanjutkan Tahap I “Tahap Perkenalan” yang dilaksanakan di tiap-tiap rayon, Srawung Orang Muda Lintas Agama se-Eks Karesidenan Kedu 2022 Tahap II “Tahap Edukasi” dilaksanakan dengan mengambil sub tema “Berbeda, Bersama, Berkarya Nyata.”
Menggemakan tagline “Dari Kedu untuk Indonesia,” orang-orang muda lintas agama berdatangan dari tiga rayon. Yakni rayon utara (Temanggung dan Parakan), rayon tengah (Magelang, Ngablak, dan sekitarnya), serta rayon selatan (Muntilan, Salam, dan sekitarnya).
Mereka berkumpul di Wisma Salam, Salam, Kabupaten Magelang, Sabtu (29/10/2022) dan Minggu (30/10/2022).
Kegiatan Srawung Orang Muda Lintas Agama ini merupakan serangkaian kegiatan bertahap yang diprakarsai oleh Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan (HAK) Kevikepan Kedu.
Peserta Srawung diberi pembekalan materi mengenai pengayaan wawasan kebangsaan, pemahaman mengenai relasi keberagaman, serta perumusan langkah-langkah konkret yang harus bisa direalisasikan bersama dalam mewujudkan persaudaraan sejati antar umat beragama dan berkepercayaan.
Dihadiri lebih dari 70 peserta dari lintas agama, Katolik, Kristen, Islam, Buddha, Kong Hu Chu, serta penganut kepercayaan Sapta Dharma, Srawung tahap II diberi pembekalan terlebih dahulu melalui sambutan-sambutan dari Romo Christophorus Sutrasno Purwanto, Pr., selaku Ketua Komisi HAK Kevikepan Kedu.
Dilanjutkan sambutan dari Romo Eduardus Didik Cahyono, SJ., selaku Ketua Komisi HAK Keuskupan Agung Semarang, dan Romo Antonius Haryono, Pr., selaku Ketua Dewan Pastoral Kevikepan Kedu.
Setelah menonton film pendek mengenai prasangka antar umat beragama dan melakukan sharing rekonsiliasi prasangka dalam kelompok-kelompok kecil, peserta diberi edukasi mengenai materi “Relasi Keberagaman: Tantangan dan Peluang” oleh Romo Martinus Joko Lelono, Pr.
Romo Joko yang merupakan Moderator Komisi HAK Kevikepan Yogyakarta Timur sekaligus dosen pengajar Kajian Agama dan Dialog di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma ini mengatakan, “Tidak ada kata minoritas dan mayoritas dalam persaudaraan itu. Jika kita memandang agama lain sebagai tetangga, maka akan ada kesenjangan diantaranya.
“Namun, apabila kita memandang agama lain sebagai saudara maka kita akan saling memiliki dan tetap percaya pada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan kepercayaan kita masing-masing,” terang Romo Joko, setelah pada awal materi mengajak peserta Srawung untuk menilik sejarah perjuangan bangsa Indonesia hingga menjadi “Indonesia” saat ini.
Hari pertama Srawung ditutup dengan harmonisasi dari sesi Refleksi Malam bersama Komunitas Pager Piring, Magelang yang mempersembahkan Nyanyian Lintas Agama.
Sementara itu, sesi materi dihari kedua mengambil lingkup materi “Peran Kaum Muda dalam Merawat Kebhinekaan dan Perdamaian” oleh Drs. H. Taslim Syahlan, M., Si. selaku merupakan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Jawa Tengah sekaligus dosen pengajar di Universitas Wahid Hasyim, Semarang.
“Kita sebagai generasi muda yang saat ini sudah mulai terjun di kegiatan lintas agama seperti Srawung ini diharapkan untuk bertindak adil, seimbang, dan juga dapat menumbuhkan sikap solidaritas antar agama,” jelasnya.
Hal tersebut menurut Taslim, wajib diupayakan agar tidak memunculkan isu-isu yang bisa saja merusak keharmonisan yang sudah tercipta.
“Kita juga diajak untuk untuk menjaga jembatan yang saat ini telah dibangun. Orang muda harus berani bergerak dan menjadi duta-duta damai di masa kini.”
Agar peserta semakin menghayati harmonisasi dari perbedaan agama dan kepercayaan, panitia membuat konsep “Religi Expo” dimana pada ruangan berbeda akan ada pos-pos keagamaan yang diisi oleh para fasilitator agama.
Dalam pos ini ada diskusi dan tanya jawab mengenai agama dan kepercayaan. Peserta tampak antusias berpindah dari satu pos agama ke pos agama lain karena mereka merasa diberi kesempatan untuk “studi banding” antar agama dan/ atau kepercayaan yang mereka peluk dengan agama dan/ atau kepercayaan teman yang lain.
Setelah membuat komitmen bersama untuk persiapan Srawung Tahap III “Tahap Selebrasi” yang akan dilaksanakan pada pertengahan November, peserta bermain “Jaga Lilin” di halaman depan wisma.
Teknis permainan ialah peserta membawa satu buah lilin yang menyala dan mereka harus menjaga lilin agar tetap menyala sementara panitia akan melempari dengan bola air supaya lilin mati.
Apabila lilin mati, maka misi mereka untuk memutus tali yang mengikat sebuah gulungan kertas akan gagal. Lilin menyala melambangkan persaudaraan sejati yang harus mereka jaga bersama.
Sementara air yang membuat lilin mati melambangkan gangguan, hambatan, dan ancaman yang mampu memecah belah persatuan dan kesatuan dalam mengupayakan persaudaraan sejati.
Beberapa waktu berlalu dan lilin sempat mati dua kali, peserta akhirnya berhasil membuka gulungan kertas yang ternyata berisikan naskah Sumpah Pemuda. (*)