NYATANYA.COM, Jayapura – Pada 3-4 Agustus 2018 silam, Bank Indonesia mengadakan Festival Kopi Papua yang diadakan di kompleks Bank Central Cabang Papua di Kota Jayapura. Selain ada pameran dan diskusi, di festival itu juga diadakan lelang kopi. Hadir dalam kesempatan itu barista terkenal dari ibu kota, Muhammad Aga, yang membagi pengalaman di bisnis pengolahan kopi.
Pada festival itu dipamerkan berbagai kopi dari berbagai wilayah Papua. Ada Kopi Robusta Monemane, Kopi Walesi Wamena, Kopi Pegunungan Bintang, Kopi Tiom Lanny Jaya, dan lain-lain. Dalam dua hari para pengunjung bisa merasakan seduhan berbagai varian rasa dari berbagai kopi yang dihasilkan di wilayah-wilayah yang berbeda itu.
Di hari kedua fesival, digelar lelang kopi dari berbagai daerah di Papua. Namun sebelum acara lelang, didahului dengan cupping atau merasakan seduhan dari puluhan kopi yang berbeda. Jadi pengunjung yang akan ikut lelang memiliki kesempatan merasakan kopi-kopi yang akan dilelang itu.
Di antara semua kopi yang akan dilelang, perhatian banyak orang rupanya tertumpah pada cita rasa Kopi Tiom Lanny Jaya. Tak heran ketika dilelang, kopi arabica Tiom menang dengan harga Rp5,3 juta per kilogram. Kontan kopi itu menjadi yang termahal di Indonesia hingga 2018. Pemenang lelang tersebut adalah Penjabat Gubernur Papua, Soedarmo.
Kopi arabica typica dari Tiom ditanam pada ketinggian 2.150 meter di atas permukaan laut (Mdpl). Lahan di ketinggian memang cukup bagus untuk kopi arabica. Iklim memang sangat berpengaruh terhadap rasa. Tak heran, kopi ini mempunyai testing notes: low acidity, high sweetness, brown sugar, dan dry mango.
Di kawasan Tiom, kopi itu ditanam oleh Paulus dan kawan-kawan. Buah kopi milik Paulus ini dipetik dan dibawa dengan pesawat oleh Peter Tan ke Jayapura untuk diproses lebih lanjut. Di Tiom, panas matahari boleh dibilang jarang bisa ditemui.
Selain kopi Tiom, lelang kopi dengan harga tertinggi kedua diraih oleh kopi Ambaidiru. Kopi itu berasal dari Ambaidiru yang berada di Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua.
Kopi ini dihargai Rp1.125.000 per kilogramnya. Kopi variety robusta milik petani bernama Yafet Rawai itu ditanam di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut.
Harga tertinggi ketiga, digenggam kopi dari Timika, Kabupaten Mimika, Papua. Kopi berjenis arabica itu merupakan milik dari petani Yanus Beanal. Kopi ini ditanam di ketinggian 25.000 meter di atas permukaan laut. Kopi Timika itu dibeli dengan harga Rp650 ribu per kilogram.
Harga yang sama juga diraih kopi Walesi-wamena dari Kabupaten Jayawijaya, Papua. Kopi milik Maximus Lani itu merupakan varietas arabica typica dan ditanam di ketinggian 1.650 meter di atas permukaan laut.
Ada juga kopi Kiwirok-oksibil yang ditanam oleh petani kopi bernama Nikolaus Bukega di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua. Kopi berjenis arabica typica ini ditanam di ketinggian 1.400 mdpl dan dihargai Rp300 ribu per kilogramnya.
Sebelum Festival Kopi 2018 itu, kopi dari Tiom belum mendapat perhatian publik. Lantaran itulah, kopi itu juga belum menjadi komoditi kopi yang diburu.
Kala itu kopi asal Papua yang sudah beken adalah kopi dari Monemane dan kopi khas Wamena. Boleh jadi, itu karena secara geografis, Monemane dan Wamena terletak di dataran yang lebih rendah dibandingkan Tiom.
Kendati baru dikenal belakangan, konon kopi asal Tiom sudah mulai ditanam sejak 1960-an, atau bersamaan dengan masuknya misionaris ke kawasan Pegunungan Tengah Papua. Diketahui, selain menyebarkan agama, kedatangan para misionaris sekaligus mengenalkan budi daya pertanian dan pendidikan.
Penggiat kopi asal Tiom, yakni Denny Jigibalom mengisahkan, berpuluh-puluh tahun lalu pohon kopi di Tiom hanya hidup dan berbuah. Namun, masyarakat tidak mengerti bagaimana cara mengolah dan menjualnya.
Maklum saja, saat itu, akses transportasi ke Wamena hanya pesawat atau jalan kaki. Perjalanan dengan jalan kaki ke Wamena, memerlukan waktu beberapa hari, dan jadwal pesawat tidak tertentu.
Baru pada 1980-an, ketika Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) menggerakkan lagi budi daya pertanian, kopi dari Tiom itu menjadi salah satu komoditas pilihan. Lalu, dibentuklah beberapa kelompok petani dan mereka bercocok tanam didampingi BPTP.
Tradisi berkebun masyarakat pegunungan membuat pertanian berkembang baik. Di masa itu hingga tahun 2000 awal, kawasan pegunungan terkenal dengan penghasil sayur. Dan lagi-lagi kopi menjadi komoditi yang tidak menarik, sehingga dilupakan petani.
Ketika kopi mulai booming, beberapa tahun lalu, tanaman kopi di Tiom tinggalah sisa-sisa. Dalam kondisi itulah, Denny Jigibalom dan kawan-kawan mengawali kebangkitan budi daya kopi Tiom.
Bekas pilot tersebut, dibantu rekan-rekan semasa kuliahnya di Bandung, menjadikan kopi Tiom sebagai brand. Mereka pun mulai gencar melakukan pengurusan perizinan, mencari peluang pasar, dan bantuan modal.
Denny sendiri memulai pengadaan kopi dari petani yang masih punya hubungan keluarga dan juga ada Kelompok Tani Makmur, di Kampung Unom, Distrik Nogi, Kabupaten Lanny Jaya.
Denny juga mengajari para petani kopi agar mampu menjaga kualitas kopinya, mulai dari pengolahan kopi, termasuk pengeringan, roasting, dan pengemasan. Untuk kegiatan itu, Denny melibatkan anak-anak muda setempat yang sudah selesai atau putus sekolah.
Persoalan sempat muncul. Tatkala untuk menjaga konsistensi produksi dan distribusi kopi, ada kendala pada persoalan ketidakstabilan harga BBM dan jaringan sinyal.
Maklum, jarak tempuh dari Gunung Susu, di pinggiran Kota Wamena, tempat Denny mengolah kopi, ke Tiom sekitar 74 kilometer. Dengan kondisi jalan yang melintasi pegunungan dan sebagian belum beraspal, waktu tempuh bisa menjadi tiga jam lamanya.
Saat ini kopi Tiom sudah kondang di kalangan penggiat kopi. Bertani kopi terbukti dapat menjadi peluang untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di pegunungan.
Karena permintaan pasar kopi Tiom cukup tinggi, Denny bahkan acap tak bisa memenuhi permintaan karena keterbatasan luas kebun kopi dan jumlah petani kopi.
Kopi Tiom kini juga sudah masuk pasar online. Di toko online, roasted bean (kopi sangrai) Tiom dijual Rp250.000 hingga–Rp300.000 per 200 gram. Cuma kadang, komoditi ini tidak tersedia karena kehabisan stok.
Di perhelatan PON XX kali ini, pedagang kopi Tiom menjajakan rasa kopinya dengan berkeliling ke venue-venue pertandingan. Mereka mempromosikan kopi Tiom sebagai oleh-oleh khas Papua. (*/Eri Sutrisno)
Sumber: indonesia.go.id