NYATANYA.COM, Kulon Progo – Nungsung Suryo adalah sebuah frasa dalam Bahasa Jawa yang arti harafiahnya: Menyongsong atau menyambut terbitnya matahari.
Kemudian apa makna penting dari frasa tersebut? Mari kita teliti lebih jauh barangkali bisa menjadi sebuah bahan permenungan.
Secara faktual bisa dikatakan bahwa matahari adalah sumber energi yang “pertama” bagi gerak kehidupan di permukaan bumi. Artinya tanpa matahari tidak ada kehidupan di muka bumi ini.
Kekuatan cahaya dan energi matahari menjadi awal atau starter bagi hidupnya atau menyalanya dan bekerjanya sebuah mesin besar kehidupan.
Pak Jumadi memainkan siter sembari mas kuncung membawa caping sambil mengekspresikan gerak yang lentur di puncak Moyeng dalam Festival Budaya Moyeng Nungsung Surya. (Foto: Istimewa)
Kemudian manusia sebagai salah satu makhluk hidup mengalami evolusi kecerdasan. Terbentuklah peradaban dan lalu berkebudayaan, atau sebaliknya (?) Begitu vital peran matahari bahkan peran utama dan memegang “nyawa” kehidupan.
Maka bisa dipahami bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban manusia matahari menjadi “tuhan”. Seperti pada peradaban Mesir Kuno mengenal Ra sebagai dewa matahari.
Di Jepang ada kepercayaan Shinto yang menghormati matahari sebagai Amaterasu Omikami, bahwa Bangsa Jepang adalah keturunan dewa matahari.
Peradaban Sunda Land yaitu peradaban pra nusantara di catatan prasasti (?) pada masa wangsa Shindu juga “menyembah” matahari.
Demikian pula pada masa Kerajaan Majapahit dikenal simbol Matahari Majapahit, yang menunjukkan begitu pentingnya Dewa Matahari ini.
Suasana tuguran Selasa malam di Pondok Moyeng mengawali acara Nungsung Suryo dari penghayat Hardo Pusoro, hosoko dan kapribaden. (Foto: Istimewa)
Dalam memori manusia hari ini, bahkan hingga tersimpan di ruang bawah sadarnya kehadiran matahari selalu dinantikan terbitnya setiap hari.
Matahari (pagi) dipersonifikasikan sebagai pembawa harapan baru, jawaban dari doa-doa yang dipanjatkan di tengah kepenatan hidup, bahkan pencerah bagi proses kreatif manusia.
Pada sisi lain gambaran-gambaran di atas tercermin pada spot-spot wisata Sunrise di seluruh belahan dunia.
Tak terkecuali di Bukit Moyeng Kulon Progo Daerah lstimewa Yogyakartaa, pada tanggal 12-13 September 2023 lalu telah dilangsungkan peristiwa budaya yang bertajuk Nungsung Suryo.
Acara ini dihadiri warga masyarakat Moyeng, seniman lukis Kulon Progo dan Yogyakarta, seniman tari, sastrawan/ penyair, pemain siter, dan praktisi yoga, serta anggota pramuka dari beberapa sekolah di Kulon Progo.
Suasana yoga di puncak Moyeng yang dimotori Filiana. (Foto: Istimewa)
Sesuai dengan temanya yaitu menyongsong matahari (Nungsung Suryo), acara dimulai pada pukul 05.00 wib.
Kolaborasi antara seniman dari berbagai bidang seni tersebut di atas, di puncak Bukit Moyeng adalah sintesa dari tesa yang dituangkan di awal tulisan ini.
Di hadapan matahari yang baru saja terbit sampai sepenggalah, para seniman khususnya pelukis mengambil porsi durasi lebih lama untuk “menyembah” matahari.
Ritualnya adalah tiap-tiap goresan kuas ke kanvas. Obyek indah yang terlihat di seluas hamparan pandangan dari puncak Bukit Moyeng yang diterangi cahaya matahari pagi, berpindah ke kanvas.
Lukisan-lukisan yang indah sebagai hasilnya adalah bukti cumbuan para pelukis dengan tuhannya di alam batin mereka.
Kolaborasi seni antar seniman, praktik senam yoga yang juga diikuti oleh para pramuka dengan bersemangat dan rangkaian upacara adat serta doa-doa sebelumnya menunjukkan antusiasme dan
semangat yang kompak dari seluruh peserta yang hadir.
Di akhir kolaborasi para peserta menuruni bukit menuju Pondok Moyeng. Di tempat ini telah menunggu sesi acara terakhir dari peristiwa budaya ini, yaitu sarasehan dengan tema Pengembangan Budaya Desa.
Sarasehan ini dihadiri juga oleh perangkat desa: ketua rt, dukuh, dan juga camat setempat. Sebagai narasumbernya adalah Niken Probo Laras, yang merupakan akademisi, dosen di universitas PGRI, sekaligus juga birokrat yang kompeten karena baru saja pada bulan September ini purna tugas sebagai Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Kulon Progo.
Narasumber yang lain adalah Godod Suteja, adalah seniman lukis yang juga penggiat budaya tradisi.
Sebagai sebuah mata acara dalam peristiwa budaya ini, sarasehan tersebut di atas menjadi antitesa yang justru berimplikasi positif.
Hal ini karena arah sarasehan ini mengerucut pada strategi aplikasi untuk pengembangan Bukit Moyeng sebagai satu tujuan wisata, dan strategi fasilitasi untuk para pelukis Kulon Progo khususnya.
Dalam pandangan penulis yang juga turut hadir sebagai peserta pemerhati budaya, bahwa peristiwa budaya ini sangat bagus dan positif.
Perlu kiranya upacara adat Nungsung Suryo ini dipertahankan dan dikembangkan. Energi positif sebagai hasilnya sebanding dengan pengorbanan seluruh komponen panitia maupun peserta, bahkan melebihi harapan.
Selain terbukanya jalan bagi sektor pariwisata juga memotivasi sektor ekonomi kreatif. Ini adalah langkah konkret dan kreatif untuk kesejahteraan bersama.
Mengakhiri esai ini bahwasanya peristiwa budaya Nungsung Suryo yang baru saja berlalu telah secara langsung membuktikan pepatah: “Akan selalu ada mentari esok pagi untuk jiwa yang berbakti kepada Tuhannya.” ***
(Wahyu Nugroho)