NYATANYA.COM, Surakarta – Dengan menggunakan spidol dan kertas putih berukuran A4 sejumlah anak muda terlihat asyik menggoreskan garis mengikuti arahan pemateri dalam menuliskan nama masing-maaing dengan aksara Lontara.
Kegiatan kreatif ini menjadi salah satu acara pendukung dalam Typefest 2022, International Typography Biennale yang diselenggarakan oleh FSRD ISI Surakarta di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT).
Workshop menulis aksara Lontara sendiri diselenggarakan pada Kamis, (12/5/2022) lalu di TBTJ Surakarta.
Diiringi candaan dan spontanitas diantara peserta, menjadikan workshop ini menjadi hidup dimana hampir seluruh peserta baru pertama kali mengenal aksara Lontara yang diperkirakan telah ada sejak abad ke-14, dan lebih luas digunakan sebelum dan setelah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan sekitar abad ke-16 sampai abad ke 20 sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf latin.
Sebagai pemateri oleh Dr. Cia’ Syamsiar, S.Pd., M.Sn. (Dosen Seni Murni FSRD ISI Surakarta) dengan peserta terdiri dari mahasiswa dan pelajar di kota Solo sebanyak 20 orang.
Menurut Cia’ Syamsiar, mengapa disebut ‘Lontara’ karena pada awalnya aksara Bugis-Makassar ini menggunakan bahan daun lontar sebagai media tulis sebagai pengganti kertas yang banyak digunakan seperti sekarang.
Selanjutnya bahwa ratusan bahasa daerah yang ada di Indonesia tetapi hanya beberapa yang memiliki aksara sendiri.
“Salah satu bahasa daerah yang memiliki aksara sendiri adalah bahasa suku Bugis-Makassar dengan aksara lontaranya,” papar Cia’ Syamsiar.
Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa Bugis dan Makassar.
Aksara Lontara pada awalnya disebut dengan aksara lontara jangang-jangang (burung) dengan jumlah huruf 18.
Kemudian seiring dengan masuknya pengaruh Islam aksara lontara ini juga menyesuaikan dengan ajaran Islam yang kemudian berkembang menjadi 19 huruf kemudian 23 huruf ditambah dengan vokal /e/ /o/ /è/ /i/ /u/ seperti yang digunakan saat sekarang ini.
Setiap huruf konsonan mempresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu (e, o, è, i, u).
Suku kata mati, atau suku kata yang diakhiri dengan konsonan, tidak ditulis dalam aksara Lontara, sehingga teks Lontara secara inheren dapat memiliki banyak kerancuan kata yang hanya dapat dibedakan dengan konteks.
Menurut anggapan masyarakat Makassar, huruf Lontara dilatarbelakangi oleh suatu kepercayaan atau falsafah “Sulapa’ Appa” (empat persegi alam semesta), yakni: Tana (tanah), Uwwae (air), Anging (angin), dan Api (api).
Aksara Lontara pada awalnya lebih banyak digunakan untuk menulis silsilah keluarga, catatan sejarah dalam kerajaan, peristiwa kehidupan sehari-hari.
Sastra Bugis, salah satunya sastra Bugis yang spektakuler yakni karya sastra I Lagaligo, yang kesemuanya mengandung nilai-nilai budaya yang tinggi sebagai pedoman hidup dan kehidupan masyarakat Bugis.
Banyak kata bijak yang tertuang dalam Lontara kini masih sesuai dengan jaman sekarang.
Dalam workshop, puluhan peserta nampak antusias mengikuti materi yang diajarkan, seperti membaca dan menulis aksara Lontara mulai dari menulis nama, menulis satu kata, menulis 2 kata, menulis 1 kalimat dengan 4 kata yang memiliki makna dan terakhir mencoba mengeksplore kalimat kata-kata mutiara dengan tulisan aksara Lontara secara baik indah dan menarik.
Menurut Zuliati, salah satu peserta menyatakan bahwa workshop seperti ini sangat penting dilakukan agar wawasan terhadap kekayaan Nusantara bisa diketahui oleh semua masyarakat, selain untuk menambah pengetahuan juga media pelestarian tradisi lokal, khususnya aksara ujarnya saat ditemui di lokasi pameran.
(N1)