NYATANYA.COM, Yogyakarta – Kisah prajurit TNI yang dulunya bernama ABRI saat melaksanakan tugas operasi mengawal dan mempertahankan NKRI dari rongrongan kelompok-kelompok yang ingin merusak persatuan dan kesatuan serta merebut Indonesia sangat menarik untuk dikupas.
Tak terkecuali pengalaman beberapa tentara TNI yang mengalami penugasan di Timor-Timur (sekarang Timor Leste).
Di era 70-an provinsi Timor Timur atau Timtim terdapat kelompok bersenjata Fretilin (Front Revolusioner Independen Timor Timur).
Fretelin adalah sebuah organisasi yang bergerak untuk menjadikan Timtim sebagai sebuah negara merdeka. Kelompok Fretilin melakukan banyak pemberontakan yang banyak jatuh korban, baik dari prajurit TNI maupun warga sipil. Prajurit pun setiap tahun dikerahkan secara bergantian dari berbagai kesatuan guna melumpuhkan gerakan Fretilin. Nyaris saban hari TNI dan Fretilin terlibat kontak tembak.
Dari sekian ribu prajurit TNI yang pernah mengalami penugasan di Timor Timur, salah satunya adalah Serma Mulyono.
Tentara yang kini masih dinas aktif di satuan kewilayahan [Satwil] yaitu Koramil 02/Tegalrejo, Kodim 0734/Yogyakarta, tahun 1993 menerima surat perintah melaksanakan misi operasi di Tanah Lorosae dengan nama operasi “Operasi Seroja”.
“Tahun 1993 saya masih dinas di satuan bantuan tempur (Banpur) Batalyon Kavaleri 4 Serbu di Bandung Jawa Barat. Kemudian bersama rekan-rekan sebanyak 1 kompi saya menerima perintah untuk melaksanakan tugas operasi di Timor Timur guna memperkuat satuan Yonif 320 Badak Putih,” kata Serma Mulyono mengawali kisahnya.
Dirinya tidak menampik kala itu sempat merasakan kekhawatiran. Terbayang jelas bagaimana medan operasi di Timtim. Hutan belantara, pegunungan dan sungai rawa yang banyak diduduki Fretilin. Ribuan tentara pun telah banyak pula yang menumpahkan darahnya, bahkan harus meregang terenggut nyawanya akibat bertempur melawan Fretilin.
“Tapi sebagai prajurit yang dididik, dilatih sebagai sosok yang harus kstaria untuk rela mati demi tegaknya NKRI,maka saya pun bertekad bulat dan siap mental melindungi bangsa serta Negara ini,” kata Serma Mulyono.
Tepat di minggu kedua awal 1993, pasukan berangkat dan meninggalkan Pelabuhan Tanjung Priuk Jakarta. KRI Teluk Langsa yang membawa Serma Mulyono dan seluruh pasukan pun mengarungi lautan lepas menuju Timtim. Perjalanan selama sepekan dirasakan sangat melelahkan.
“Setelah tujuh hari tujuh malam berada di lautan lepas, akhirnya kami tiba di Timtim. Kapal tempur yang kami tumpangi lego jangkar dan bersandar di bibir pantai wilayah Laga malam hari. Pendaratan disesuaikan malam guna menghindari pantauan pihak Fretilin,” sambungnya.
Pagi-pagi buta, Serma Mulyono beserta 14 rekannya (satu regu) melanjutkan perjalanan menuju pos yang telah ditentukan pimpinan. Mereka berjalan beriringan melalui jalan setapak di belantara hutan menuju wilayah Laga Bakao.
“Setengah hari kami berjalan menuju pos,” lanjutnya.
Dan menjelang petang Serma Mulyono pun tiba di pos. Usai bersih-bersih dilanjutkan Istirahat bergantian. “Pos kami berjarak sekitar 4 kilometer dengan perkampungan warga. Sehingga untuk kebutuhan kelangsungan hidup kami tak terlalu khawatir. Bahan makanan jika menipis, kami bisa belanja ke pasar,” ujarnya.
Awal-awal kedatangannya semua berjalan aman. Tidak ada gangguan berarti yang dialami regu Serma Mulyono. Hari-hari dilalui dengan rutinitas patroli dan menjalin kedekatan bersama warga, baik warga yang tinggal di Laga Bakao maupun wilayah perkampungan Saelari.
“Lebih kurang 4 bulan kami tinggal di pos, sudah banyak warga yang kami kenal. Kami dan warga terkadang saling berkunjung. Bahkan jika kami kehabisan bahan logistik, warga justru banyak membantu mengirimkan bahakn makanan dan bumbu masakan,” urainya.
Kendati wilayah yang dikendalikan dan dikuasai regu Serma Mulyono terkesan aman. Namun ia senantiasa tetap waspada. Setiap berpergian senapan serbu laras panjang jenis M-16 tak akan lepas dari genggaman tangan.
“Musuh datang tanpa kenal waktu dan situasi. Kami harus selalu waspada dan tak boleh lengah,” tegasnya.
Tepat menginjak 6 bulan melaksanakan misi operasi, peristiwa yang dikhawatirkan pun akhirnya menimpa regunya. Serangan mendadak dan membabi buta dari kelompok Fretilin diarahkan kepadanya.
Peristiwa itu bermula ketika Serma Mulono dan regunya usai berpatroli. Keringat membasahi seragam dinas lapangan dan tubuh terasa letih. Agar badan lebih bugar, maka diputuskan untuk mandi di sumber air yang tak jauh dari pos.
“Jam 4 sore usai patroli, saya dan rekan lain mandi di sumber air tempat biasanya. Selain mandi kami juga mengambil air untuk masak,” kata Serma Mulyono.
Dan sudah menjadi standart operasi prosedur (SOP), setiap kegiatan harus dibagi, dimana sebagian harus menjadi penjaga dan selalu siaga mengawasi rekan lainnya. Saat itu Serma Mulyono lebih dulu mandi bersama 4 rekannya. Lainnya menunggu di lokasi dataran lebih tinggi berjaga-jaga.
“Saat saya selesai mandi dan hendak mengisi jerigen air, tiba-tiba ada suara rentetan tembakan yang diarahkan ke kami,” kenang Serma Mulyono.
Dor…! Dor..! dor…!
Spontan ia melompat ke parit yang berada disisi kiri sumber air.
“Kontaaaak….!!” Teriak Serma Mulyono lantang.
Rekan lainnya segera tiarap mencari perlindungan dibalik bebatuan dan pohon. Senapan serbu M-16 dikokang. Mata tajam dan nanar menyapu sekeliling lokasi sumber air. Suara rentetan tembakan yang dimuntahkan kelompok Fretilin dari senjata jenis minimi tak lagi terdengar. Sepi, senyap.
“Tembakan dari arah mana Bang..?” tanya rekan Serma Mulyono.
“Sepertinya dari arah timur tebing. Jangan gerak dulu, tetap diam dan monitor terus arah pukul 3,” perintah Serma Mulyono kepada yuniornya.
“Siap Bang…” timpalnya.
Serma Mulyono dan rekannya mencoba memancing dengan memberikan tembakan balasan dengan harapan pihak Fretilin menyerang lagi sehingga diketahui posisi musuh. Tapi tetap sepi, senyap.
Setelah dipastikan musuh kabur, regu Serma Mulyono segera bangkit, kembali ke pos dan melaporkan situasi serta kejadian yang baru menimpanya kepada pimpinan. Dilanjutkan berkoordinasi dengan pos-pos lainnya agar dapat dilakukan penghadangan.
“Tapi musuh tak terdeteksi. Kabur dan hilang bak ditelan bumi. Sehingga kami putuskan untuk laksanakan pengendapan pada malam hari dengan tujuan agar mereka keluar dari persembunyiannya,” cerita Serma Mulyono.
Namun hingga pagi hari, kemunculan musuh juga tidak seperti yang diharapkan. Akhirnya ia dan seluruh rekannya kembali pos.
“Dari peristiwa penyerangan itu, syukur Alhamdulillah, kami semua selamat. Tidak ada yang tertembak dan terluka,’ kenang Serma Mulyono mengakhiri kisahnya. (N2)