NYATANYA.COM, Yogyakarta – Sampah bagi sebagian besar orang tetaplah dianggap sampah yang tak memiliki manfaat, kecuali dibuang, dan tetaplah menjadi sampah.
Namun hal itu tidak berlaku bagi seorang Laksmi Shitaresmi, perupa perempuan Yogyakarta yang justru memanfaatkan limbah sampah, utamanya plastik menjadi sebuah karya seni yang apik dan memiliki nilai tinggi sebagai sebuah karya seni.
Sebanyak delapan karya rupa berbahan sampah plastik yang apik dengan nilai artistik unik diusung Laksmi Sitoresmi dalam pameran tunggalnya bertajuk ‘Pulunggono Pulungsari’ di The 101 Hotel Yogyakarta.
Di tangan dingin Laksmi sampah-sampah plastik itu diolah dan dipilah. Bukan cuma sebagai bahan dasar penciptaan karyanya.
Plastik bukan hanya melahirkan bentuk rupa pada karya-karya Laksmi tetapi juga warna yang hadir pun dari warna-warna limbah plastik yang dipilahnya.

Tentu saja ini melalui proses dan ekspreimen panjang yang dilakukan seorang Laksmi untuk mencapai titik apik pada karya-karyanya kali ini.
“Saya ingin mengangkat derajat sampah ke strata lebih tinggi sehingga memiliki nilai yang tiggi pula,” ujar Laksmi saat berbincang dengan wartawan sebelum pameran dibuka secara resmi Mr Konfir Kabo.
Berangkat dari keprihatinannya melihat sampah yang terus menumpuk dan berserak menyisakan sejumlah persoalan, membuat Laksmi tergugah untuk melakukan sesuatu yang lahir dari olah rasa dan gagasan kreativitasnya.
“Meski karya-karya saya itu melalui proses yang cukup panjang dan rumit tetapi saya menikmati prosesnya itu,” imbuh perempuan yang sedang menyelesaikan Pasca Sarjana di Seni Patung Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Alia Swastika, yang menulis untuk pameran ini menyebut, Karya-karya Laksmi Shitaresmi pada periode 1990an hingga beberapa tahun yang lalu, menjadikannya salah satu seniman perempuan yang bertahan dalam skena seni yang maskulin dan patriarkh.
“Karya-karyanya melintas dari pengalaman personalnya tentang kedirian perempuan dan segala problem yang melingkupinya. Ada bentuk-bentuk figuratif yang dikombinasikan dengan lanskap, abstraksi dan fantasi,” papar Alia.
Pameran Laksmi Shitaresmi berjudul “Pulunggono Pulungsari” menandai pula perjalanan praktik kesenian Laksmi yang baru.
Dalam kehdupan personalnya, di tengah membangun identitas diri yang baru, Laksmi Shitaresmi melihat ada perubahan pula dalam konteks artistik dan visi estektiknya.
Pulunggono Pulungsari merupakan bagian dari filosofi Jawa, yang bagi Laksmi merupakan sebuah cara untuk menemukan dirinya kembali dalam perubahan dunia yang begitu cepat.
“Pulunggono Pulungsari merupakan titik keseimbangan untuk mencari jalan tengah bagi beberapa hal yang bertentangan. Laksmi melihat bahwa kesempurnaan itu adalah titik penemuan titik seimbang; dimana keduanya, pada akhirnya bisa melebur menjadi satu,” tanas Alia.
Konfir Kabo mengungkap, karya-karya baru Laksmi sangatlah berbeda, sebuah eksplorasi baru akan material dan teknik.
“Di luar perunggu dan resin, sekarang dia menggunakan plastik daur ulang, bahan yang sempurna di dunia yang makin memanas,” ungkap Kabo.
Ditambahkan Konfir Kabo, karya-karya yang ditampilkan Laksmi merupakan sebuah dunia yang terpisah dari representasi karya sebelumnya, sehingga mungkin tidak sesuai harapan semua orang.
“Namun, mengingat perjuangannya baru-baru ini, saya pikir karya-karya ini berani dan mengesankan, arah progresif baru untuk karir artistik yang luar biasa dan simbol regenerasi seniman wanita Indonesia,” pungkas Konfir Kabo.
(Aja)