NYATANYA.COM, Bantul – Pertunjukan tari pada kenyataanya memang belum banyak dilirik oleh penonton dibanding pentas musik, atau bahkan event pameran seni rupa. Apalagi tarian itu masuk dalam golongan tari klasik yang dianggap kuno lah, ketinggalan jaman lah.
Meski begitu bukan berarti pertunjukan tari tidak memiliki daya tarik yang sejatinya bisa dikemas menarik dan dilirik oleh penonton.
Tantangan inilah yang mencoba diniati oleh seorang koreografer Bimo Wiwohatmo, lewat karya terbarunya Tari ‘Bedhayan Bocah Bajang’.
“Diakui memang penonton seni tari tak sebanyak pertunjukan musik, namun ini tantangan kami dalam pementasan ‘Bedhayan Bocah Bajang’,” terang Bimo Wiwohatmo saat jumpa wartawan, di Laboratorium Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Minggu (16/10/2022) malam.
Bimo mengungkap, pameran seni rupa seperti ARTJOG yang berhasil menggaet banyak penonton meski dengan berbayar banyak memberinya spirit dan pencerahan bahwa pertunjukan tari pun bisa digarap lebih baik dalam segala hal sehingga mampu menggaet banyak penonton.
“Dalam pertunjukan tari ‘Bedhayan Bocah Bajang’ ini kami menghadirkan sebuah tontonan yang menarik dinikmati. Sekalipun latar belakang cerita merupakan kisah klasik namun bisa hadir dengan kekiniannya,” ungkap Bimo.
Untuk mewujudkannya, Bimo Wiwohatmo lantas berkolaborasi dengan Gandung Djatmiko (perancang musik), Benny Susilo Wardoyo (perancang artistik), Nita Azhar (perancang busana), Eko Sulkan (perancang tata cahaya), dan Joni Asman (perancang visual).
Bimo Wiwohatmo menjelaskan, tari ‘Bedhayan Bocah Bajang’ berdurasi 1 jam ini, terinspirasi dari cerita novel terbaru karya Sindhunata berjudul ‘Anak Bajang Mengayun Bulan.
Novel yang mengangkat cerita Sukrasana dan Sumantri ini, diterbitkan setelah 40 tahun ‘Anak Bajang Menggiring Angin’. Kisah kakak beradik tersebut, direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pertemuan hal-hal yang kontradiktif seolah menyatakan dualisme saling bertentangan. Pada kenyataannya, kehidupan menemui persoalan sebelum dinyatakan ‘bagus’, setelah dinyatakan ‘jelek’, dan di antara bagus dan jelek.
Bahkan dalam gelaran tari mengacu novel karya Sindunata ini, memperlihatkan kompleksitas kehidupan dengan pilihan diksi, deskripsi, dan perumpamaan yang filosofis.
Kemudian soal penyajian tari ‘Bedhayan Bocah Bajang’ berpijak dari akar tradisi, dengan pengembangan elemen artistik prinsip kebebasan berekspresi berkarya inovatif menyesuaikan tuntutan zaman.
“Kemasan tari Bedhayan Bocah Bajang ini, untuk tata artistik memadukan video visual dan tata lampu yang dapat mendukung suasana adegan di atas pentas,” imbuh Bimo Wiwohatmo.
Dr Sindhunata menyebut, pentas tari ‘Bedhayan Bocah Bajang’ garapan koreografer Bimo ini, suatu kolaborasi yang luar biasa. Bahwa sebuah seni sastra dibaca dan diterjemahkan menjadi pentas seni tari. Kita tidak memastikan apakah pas atau tidak? Tapi, itulah seni.
“Bagi saya dalam hal garapan seni tari, dipersilahkan mengeksplorasi simbol-simbol dan hal yang mengesankan bisa dipentaskan dalam karya gerak tari. Semoga pentas tari Bedhayan Bocah Bajang ini, bisa sukses dan menginspirasi. Bahwa kolaborasi di wilayah seni harus terjadi seperti kali ini,” harap Sindhunata.
Sementara Butet Kartaredjasa mengungkapkan, Bimo dengan Djaduk Ferianto, bersama grup musik Reze, berhasil memenangkan juara nasional musik humor. Itulah modal keberangkatan Bimo menjadi koreografer.
“Jadi saya membuktikan suatu tesis, bahwa dalam kesenian tidak ada batas teroteri, semua cabang seni itu media berekspresi.
Koreografi-koreografi karya Bimo adalah seni rupa yang bergerak. Maka kalau Bimo mencipta tari Bedhayan Bocah Bajang ini, juga tidak luput dari kenakalan-kenakalan semacam ketika dulu di membikin karya tari Blekdidot. Saya yakin kita bersama-sama menyaksikan seni rupa dan celelekan yang bergerak secara asyik,” kata Butet Kartaredjasa.
Sedangkan kurator seni rupa dan dosen ISI Yogyakarta Suwarno Wisetrotomo menegaskan, nama Bimo penting dipercakapkan dalam jagat seni tari kontemporer di Indonesia.
Bahkan Bimo, melukis di atas panggung, ketika menghadirkan komposisi tari dan sekaligus menari di atas kanvas ketika melukis.
“Saya membayangkan Bimo, bisa melakukan hal yang sama, bagaimana novel itu ditafsir, dimaknai ulang untuk menghadirkan tafsir cerita, membuat komposisi, gerak tari, didukung tata cahaya yang menjadi karya tari. Kita bisa mendapat asupan baru dari kisah novel Bocah Bajang Mengayun Rembulan. Bagi yang belum membaca novel ingin membaca. Bagi yang sudah membaca ingin menonton. Bagi yang sudah membaca dan menonton bisa muncul tafsir-tafsir berikutnya,” ungkap Suwarno.
Pertujukan tari ‘Bedhayan Bocah Bajang’ digelar Senin (17/10/2022) malam ini pukul 19.30 di Gedung Laboratorium Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Jalan Parangtritis Km 6,5, Sewon Bantul untuk kalangan terbatas (undangan).
Setelahnya, pertunjukan akan digelar untuk umum di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Rabu, 19 Oktober 2022 mulai pukul 19.30, dengan harga tiket masuk VVIP Rp100.000, VIP Rp70.000 dan umum Rp30.000.
Pembelian tiket dapat melalui Loket.Com, dan lobi Concert Hall TBY, sebelum pentas berlangsung.
Pentas tari ini diproduksi Bimo Dance Theater bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ISI Yogyakarta, Taman Budaya Yogyakarta dan didukung Sukun.
Tim produksi pentas tari ‘Bendhayan Bocah Bajang’, Ian Mutex (pimpinan produksi), pelaksana produksi Very Andrian, sekretaris produksi Siska Madya K, bendahara Anik Eunike.
Perancang tari dan musik digarap Gandung Djatmiko, perancang busana Nita Azhar, perancang topeng Rommi Iskandar, perancang artistik Beni Susilo Wardoyo bersama Ujang Irwanto, Jibna Setong, Pendi Nurcahyo, Bahar Sumunar.
Perancang tata lampu Eko Sulkan didukung Fajar, Deva, perancang video visual Joni Asman, dokumentasi video dan foto Gobang, Didiet, Nico, Erwin Octavianto, Erick Ardiyanto Wibowo.
Untuk manager panggung Natalius Yudha Sutrisno, didukung Agung Jumadi dan M Nur Cholis. Narator Butet Kartaredjasa dan Ni Made Purnama.
Para penari yang terlibat adalah A. Hajar Wisnu Satomto, Sarjiwo, Eko Purnomo, Abhenova, Angela Retno Nooryastuti, Ditta Novita Astuti Kusumo, Hendy Hardiawan, Tri Anggoro, Anang Wahyu Nugroho, Samiaji, Lintang Ayodya, Irwanda Putra, Putra Jalu Pamungkas.
Kemudian Paranditya Wintarni, Nurul Dwi Utami, Ari Kusumaningrum, Nurul Amalina, Ratri Ika Subekti, Khoiria Fadilah dan Oktasya Wardani. Pemusik Muhlas Hidayat, Anom Wibowo, Anon Wibowo, Nugroho, Wahyu Widodo, Sri Wahyuningsih.
(Aja)