NYATANYA.COM, Yogyakarta – Pada dasarnya seni tari adalah gerak sebagian atau semua bagian tubuh yang dilakukan dengan ritmis, biasanya diiringi dengan bunyi-bunyian suara atau musik.
Tarian memang bukan sekadar gerak dan olah tubuh, tetapi lebih dari itu tarian juga menjadi bahasa untuk berbicara dan menyampaikan sebuah pesan tersirat di dalamnya.
Begitu juga yang ditampilkan Uti Setyastuti, dosen jurusan tari ISI Yogyakarta yang dikenal sebagai penari klasik dan non klasik, dalam gelar eksperimentasi tari berjudul Mahasyahdu Titi Laku.

Eksperimentasi tari kali ini sengaja tidak ditampilkan dalam ruang pertunjukan ataupun di pendapa. Karena sejatinya sebuah tarian bisa dilakukan di mana saja dalam ruang dan waktu.
Mahasyahdu Titi Laku menjadikan situs cagar budaya sebagai ruang eksperimentasi itu, dan Situs Warungboto/ Umbul Warungboto, atau Pesanggrahan Warungboto dipilih dalam memora tari yang digelar Senin (5/12/2022) sore.
Sebuah ruang memiliki sekian ragam peristiwa. Seperti halnya perempuan yang memiliki beragam macam peristiwa dalam kehidupannya.

Saling silang dan kait kelidan antara peristiwa-peristiwa tersebut memperkaya perspektif diri perempuan.
Dari perempuan pun menjadi ruang bebas, yang terbuka akan interpretasi di setiap era. Meski begitu, perempuan kerap kali ditafsir dari satu dimensi saja, tidak pernah utuh.
Banyak yang diabaikan, luput dari pengamatan. Padahal setiap diri perempuan memiliki hasrat, imaji, dan pandangan yang berbeda satu sama lain.
Maka sudah saatnya perempuan merebut ruangnya sendiri, menceritakan kisahnya sendiri secara utuh, dan menyeluruh.

Begitulah sinopsis Mahasyahdu Titi Laku karya Uti Setyastuti (koreografer), didukung Memet Chairul Slamet (komposer), Erlina Pantja Sulistyaningtas (penata busana), dan didukung puluhan penari putri dan putra.
“Lewat karya Mahasyahdu Titi Laku, kami jadikan Situs Warungboto sebagai ruang untuk menginterpretasikan pengalaman perempuan. Situs Warungboto beserta konteks sejarahnya menjadi sebuah teks berangkat dari sebuah kreasi yang menawarkan diskursus yang baru dan segar tentang perempuan,” beber Uti.
Ditambahkan Uti, lewat Mahasyahdu Titi Laku juga ingin mengajak publik memikirkan urgensi dari sebuah situs yang telah bertahan selama berabad-abad lamanya.

Kepala Kundha Kabudayan (Dinas Kebudayaan) DIY, Dian Lakshmi Pratiwi,S.S.,M.A dalam sambutannya mengungkap, upaya konservasi Situs Warungboto sudah dilakukan sejak tahun 1936.
Pemetaan ruang, pemeliharaan, maupun perbaikan selalu berkaitan dengan status Situs Warungboto sebagai cagar budaya yang harus dilestarikan.
Namun sejak tahun 2015, paradigma tersebut mulai bergeser. Selain pemugaran fisik bagunan, pemerintah mulai memanfaatkan Situs Warungboto sebagai objek wisata dan ruang kesenian.
“Untuk itulah kami mengapresiasi apa yang dilakukan Uti Setyastuti yang menggelar pertunjukan budaya Mahasyahdu Titi Laku di Situs Warungboto,” ujar Dian Laksmi.

Jalannya Pertunjukan
Seorang perempuan penjual sate Madura tiba-tiba masuk ke area pertunjukan. Dengan pede (percaya diri)-nya ia berjalan melintas di depan ratusan penonton yang ingin menyaksikan pertunjukan tari Mahasyahdu Titi Laku.
Penjual sate Madura ini kemudian mencari tempat duduk di sudut pertunjukan. Seperti potret keseharian yang kita lihat pada sosok perempuan penjual sate yang blusukan ke kampung-kampung, perempuan itu pun melakukan aktivitasnya membakar sate dan meladeni ‘pembeli’.
Penonton yang sesaat dibuat kaget baru menyadari jika pertunjukan ternyata sudah dimulai. Perempuan penjual sate itu menjadi adegan pembuka pertunjukan, sementara di sudut pertunjukan yang lain muncul sekelompok penjual sate yang lain menarikan kisahnya.

Potret perempuan yang suka bersolek juga tak luput menjadi bagian dari pertunjukan ini, makin merepresentasikan kehidupan dan hakikat seorang perempuan.
Seorang perempuan yang bersolek tetapi juga sekaligus perempuan yang juga hidup dan menjadi bagian dari lingkungan sosial dengan sejumlah realitanya.
Dalam hidup dan kehidupannya, perempuan juga tak lepas dari kehadiran kaum Adam. Begitu juga sebaliknya.
Potret kehidupan kaum pria ini disuguhkan Uti Setyastuti dalam sekmen selanjutnya. Dimana pria yang dekat dengan hobi kabanyakan orang, yakni bermain burung dara, dan juga ayam (jago) menjadi reportoar yang epik dan disajikan menarik.
Keterkaitan dan saling keterhubungan dua insan, laki-laki dan perempuan digambarkan dalam ruang kehidupan sosial yang divisualkan dalam laku tari.
Penonton kemudian dipersilakan menebak, bagaimana sosok perempuan senantiasa hadir dalam bingkai penyejuk dan pemanis perjalanan kehidupan sebagaimana kodratnya.
Hal ini digambarkan Uti Setyastuti dalam menarik benang merah Mahasyahdu Titi Laku. Sosok wanita yang dimunculkan dari balik kurungan ayam, menjadi penyejuk dan memecah keheningan lewat alunan nada seruling yang dimainkan.
Adegan ini pun memungkasi gelaran reinterpertasi ruang histori Mahasyahdu Titi Laku, yang kian syahdu di bawah rintik hujan yang turun membasah di atas Situs Warungboto.
(Aja)