NYATANYA.COM, Kulonprogo – Tarian ini menggambarkan perayaan muda-mudi yang menari dan bernyanyi setelah panen padi, sebagai ungkapan rasa bersyukur kepada Tuhan, atas hasil panennya.
Lantaran mengadopsi dari gerakan mengangguk-angguk, kesenian tarian tradisional ini dinamakan tarian Angguk.
Perpaduan pengaruh budaya Jawa, Arab dan Belanda sangat terasa di tarian ini. Gerakan penari yang berpakaian ala opsir Belanda ini diilhami dari gerakan baris-berbaris tentara Hindia Belanda atau KNIL.
Pada awalnya Angguk dimainkan oleh para penari pria, namun dalam perkembangannya justru penari putri yang membawakannya.
Budaya Arab terselip dalam tembang-tembang yang dilantunkan dalang dan penyanyinya. Selain dengan bahasa Jawa, nyanyian dan dialognya pun kadang menggunakan bahasa Arab. Kebanyakan berisi nasehat-nasehat dari leluhur.
Namun belakangan, grup-grup kesenian Angguk menambahkan beberapa tembang-tembang yang sedang hits saat ini, baik dari irama campursari hingga irama koplo.
Musik pengiring yang dulu hanya kendang, bedug, dan rebana, kini lebih dinamis lagi dengan ditambahnya instrumen keyboard dan drum. Ini lebih sekedar hiburan, agar penonton lebih tertarik.
Dari segi pakaian pun demikian. Angguk yang identik dengan warna seragam kemeja hitam, dengan sampur dan asesoris berwarna kuning, kini juga mengalami perubahan.
Beberapa inovasi digarap agar lebih menarik penonton, baik pada busana, tata rias, musik maupun gerakan. Warna seragam hijau, merah, ungu dan sebagainya kini digunakan oleh grup-grup kesenian Angguk, meski warna klasik hitam tetap dilestarikan.
Menjadi kesenian ciri khas ikon Kabupaten Kulonprogo, Angguk kini telah berkembang dan berinovasi sedemikian rupa hingga menjadikan pertunjukan ini lebih menarik pengunjung di setiap gelarannya.
“Perubahan saat ini diterapkan karena tuntutan jaman, dimana misinya lebih kepada hiburan yang dapat diterima penonton. Seperti halnya dilakukan pada kesenian jathilan, wayang, dan lain-lain,” ungkap Agus Sumantri, salah satu pegiat Angguk.
Angguk booming di tahun 90-an, ditandai hadirnya kelompok Angguk putri, Sri Lestari di Pripih, Kulonprogo. Grup ini mampu merebut hati masyarakat Kulonprogo.
Salah satu bintang tarinya adalah Umiyati. Nama Umiyati sudah tak asing lagi bagi pecinta kesenian Angguk. Kelincahan dan atraktif gerakan tarinya mampu menghipnotis penonton.
Karena kemampuan tarinya tersebut, Umiyati sering jadi bintang tamu di beberapa grup Angguk.
Lantaran harus pindah ke Lendah, Kulonprogo, Umiyati akhirnya mendirikan grup Angguk baru, Puspa Umitama di Lendah.
“Tidak hanya untuk masyarakat Lendah saja, namun Puspa Umitama juga mewadahi seniman seniwati seluruh Kulonprogo. Tujuan utama kami adalah untuk melestarikan kesenian yang ada di Kulonprogo” ujar Umiyati.
Puspa Umitama menjadi salah satu grup Angguk favorit di Kulonprogo. Dalam aksinya, grup ini biasanya menampilkan jumlah penari yang genap, 12-16 orang.
Hal ini karena dalam Angguk terdapat 2 jenis tarian, yakni tari Jejeran/ Ombyokan ( yang dibawakan seluruh penari) dan tari Pasangan, yang dilakukan berpasangan. Beberapa kisah yang sering dilagukan oleh penyanyinya, seperti kisah Umarmoyo, Sekar Mawar, Awang-awang atau Kuning-kuning.
Yang menarik, hampir di setiap tampilan, terdapat penari yang ‘ndadi’ atau kesurupan. Biasanya ditandai dengan pemakaian kacamata hitam pada penari tersebut.
Seperti halnya di kesenian Jathilan, penari Angguk ini juga memakan kembang. Tembang Jarum-jarum, dan Senggot menjadi lagu identik, saat penari ndadi. Sebagai aset ragam kesenian tradisional, menjadi keharusan untuk menjaga kelestarian dan memupuk rasa mencintai kesenian Angguk, sebagai warisan budaya Nusantara. (AgR)