NYATANYA.COM, Mimika – Indonesia sungguh kaya akan ragam budaya. Salah satunya adalah karya seni suku Kamoro yang mendiami daerah di sekitar pesisir selatan Papua, di Kabupaten Mimika.
Karya paling terkenal dari suku ini adalah seni pahat kayu yang memiliki ciri khusus. Berbagai jenis patung, tifa, perisai, tongkat dan totem milik suku Kamoro dahulu digunakan dalam berbagai upacara adat dan ritual.
Aneka seni pahat kayu ini pun masih tetap dilestarikan di salah satu galeri yang bernaung dibawah Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe di Kabupaten Mimika, Papua.
Ketua Yayasan Maramowe, Herman Kiripi, mengatakan patung kayu yang dibuat di galeri ini memiliki ciri khusus motif sisik buaya.
Ukiran kayu suku Kamoro hanya boleh dibuat oleh orang asli suku tersebut. Itulah sebabnya relatif susah menemukannya selain di daerah Papua, terutama Mimika.
Kalaupun ada di luar Papua, biasanya dibawa untuk pameran atau memang dipesan khusus. Namun, banyak juga ukiran Kamoro yang kini menjadi koleksi di luar negeri.
Harga yang ditawarkan pun bervariasi, mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Tergantung kepada ukuran dan kerumitan motifnya.
Menurut dia, untuk membuat satu buah patung membutuhkan waktu sekitar dua hingga tiga hari. Hal ini tergantung dari ukuran dan tingkat kesulitanya.
“Waktu pembuatannya dua sampai tiga hari. Itu karena dia kayu utuh. Jadi dipahat, kita kasih keluar dalamnya. Jadi harus kita kerjakan sedetail mungkin,” kata Herman saat di Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe, Mimika Papua, Sabtu (9/10/2021).
Menurut Herman, di yayasan ini ada delapan orang perajin yang seluruhnya berasal dari suku Kamoro. Untuk mendapatkan hasil yang sempurna, pemahatan tidak boleh dilakukan terburu-buru. Pembuatan patung kayu ini dilakukan sebagai penghormaatan kepada moyang (leluhur).
“Tapi dibuat harus hati- hati. Jangan ada gangguan dari samping,” ujar dia.
Bahan baku yang digunakan adalah kayu besi. Kayu ini berlimpah di Papua. Namun, tegas dia, untuk anak-anak khususnya di Timika masih kurang berminat untuk menjadi pengrajin.
Sedangkan di daerah pesisir pantai, minat anak muda masih cukup tinggi untuk melestarikan budaya ini. Sekalipun tidak semua anak.
Ia berharap seni ukir Kamoro harus terus dilestarikan agar jangan sampai hilang. Hingga kini, kerajinan ukir Papua tinggal tersisa dari tiga suku yaitu suku Asmat, suku Kamoro dan suku Sempan.
Salah satu langkah pelestarian seni budaya ini, selain melakukan pembinaan, adalah menggulirkan ajang pameran budaya. Yayasan Maramowe juga telah mengikuti pameran di beberapa tempat seperti di Jakarta, Bali, Surabaya dan wilayah lainnya.
Pameran bertujuan agar masyarakat luas dapat mengenal lebih dekat dengan seni dan budaya suku Kamoro dan dapat menikmati budaya tersebut. Di sisi lain, pengunjung juga dapat membeli hasil karya seni ukir Papua, khususnya seni ukir khas suku Kamoro.
Selain pameran, karya seni suku Kamoro pun sudah tersedia di beberapa galeri di Jakarta, Bandung, Jawa dan Bali.
“Sempat kita ke luar itu, ke Swiss. Itu permintaan dari duta besar (dubes) sana untuk event dan pameran,” terang dia.
Yayasan Maramowe membantu melakukan pembinaan terhadap para pengukir agar mereka senantiasa dapat meningkatkan kualitas ukirannya.
Selain itu, membuka akses pasar agar kerajinan ukiran ini dapat memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat suku Kamoro. (*)
Sumber: InfoPublik.id