NYATANYA.COM, Yogyakarta – Masa pandemi yang berlangsung lebih dari setahun secara tidak langsung memengaruhi medan sosial warga kota. Belum lagi bunga-bunga peraturan pemerintah lewat ‘Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat’, yang kemudian membuat beberapa kawanan membentuk jejaring baru secara organik.
Begitu juga yang terjadi di studio lukis Soni Irawan di kawasan Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta. Berkumpulah individu-individu dari berbagai latar belakang yang berbeda, baik usia, profesi, hobi, latar belakang pendidikan, bahkan selera musik. Alasan mereka berkumpul hanya satu: melepas kejenuhan dari aktivitas sehari-hari yang terbatas.
Kemudian Soni Irawan menginisiasi untuk membuat sebuah pameran seni rupa bersama. Kelompok ini pun dinamai ‘Anti Sport-Sport Club’. Dari latar belakang yang beragam, tentu akan menghasilkan karya yang berbeda di pameran yang mereka gagas.
Dinamai ‘Anti Sport-Sport Club’, kelompok olahraga yang (sebenarnya) tidak suka berolahraga. Berawal dari pertemuan di studio lukis, pindah ke lapangan basket, dan kembali ke studio untuk berkarya. Dari latar belakang yang beragam, tentu akan menghasilkan karya yang berbeda.
Soni Irawan dalam rilisnya, Rabu (18/8/2021) menjelaskan, kelebihan kelompok ini adalah keberagaman latar belakang kehidupan masing-masing pesertanya. Setiap personil mempunyai selera dan karakter sama kuatnya.
Misalnya Yogi, street artist muda lulusan fakultas seni rupa yang namanya mulai muncul ditahun ini membuat sebuah seri karya graffiti yang layak ditampilkan di dalam galeri, seperti menampilkan sebuah artefak street art dari jalan yang menjadi penanda jaman, Yogi mencoba mengeksplorasi tekstur, garis, warna yang dihasilkan teknik spray paint.
Sementara Khoir, mantan anak street punk yang tahun ini berhasil menyelesaikan pendidikannya di fakultas seni, sedang mencoba berdamai dengan diri sendiri menampilkan dua karya yang cukup besar dan sangat berbeda karakternya. Ketika disajikan berdampingan seperti menampilkan pergulatan hidupnya yang kontras. Dua sisi yang berbeda.
“Bofag, pensiunan rockstar lokal yang mencoba merubah jalan hidupnya dengan senirupa, menyuguhkan seri karya 7 panel yang berusaha menggambarkan keseimbangan hidup dari Senin sampai Minggu dengan bersenang-senang,” papar Soni Irawan.
Sementara Gurit, seorang pekerja seni media rekam yang mempunyai latar belakang pendidikan seni cetak (printmaking) mencoba membuat karya hitam putih yang memakai falsafah Jawa sebagai pijakan tema karyanya.
“Komposisi gambar yang fotografis ditransfer ke teknik cukil kayu yang sangat manual/kuno seperti ingin menunjukan masalah kehidupan modern masih bisa diselesaikan dengan falsafah yang sudah dianggap kuno,” ujar Soni.
Ada pula Novan, seorang yang berbekal pendidikan dan kehidupan pesantren yang religius semakin memperkuat karakternya dengan menyelesaikan pendidikan di UIN Sunan Kalijaga, menampilkan karya yang religius dengan gaya dekoratif campuran ornamen/ukiran jawa dan karakter font dan ilustrasi band-band death metal.
Soni menambahkan, peserta lain, Iwank, seorang pejuang komik militan, musisi yang mempunyai karakter kuat, disetiap karyanya selalu menggabungkan dua hal yang dia cintai, komik dan musik, untuk mengangkat tema-tema lokal yang ada disekitarnya.
Sementara Danish, anak seniman, remaja cewek generasi gadget, sneakerhead, fans Lil Mosey dan Tom Morelo. Pecinta binatang yang sangat peduli terhadap hak hak binatang ini mencoba menyuarakan keresahannya terhadap situasi yang terjadi di jalan-jalan Yogya, tentang eksploitasi kuda sebagai angkutan kota dengan bahasa gambar yang cukup kekinian alias ngepop.
“Pameran seni rupa kelompok ‘Anti Sport-Sport Club’ digelar mulai 18 Agustus 2021 di Stonemilk Ward, Yogyakarta,” pungkas Soni. (Aja)