NYATANYA.COM, Bandung – Chryshnanda Dwilaksana (55) adalah sosok pelukis abstrak ekspessionisme yang konsisten dalam berkarya.
Pria kelahiran Magelang 55 tahun silam ini tidak “ujug-ujug” atau tiba-tiba langsung melukis secara abstrak ekspessionisme, namun hal ini adalah sebuah hasil perjuangan panjang, penuaian pengerucutan yang sejak berpuluh-puluh tahun digeluti.
Chryshnanda tak pernah mau diam, bahkan malah super aktif, maka tak heran kalau di rumahnya sudah tersimpan ribuan karya lukisan dalam berbagai ukuran dan tema.
Dan sebagian kecil dari ribuan karyanya itu kini dipamerkan di Gedung Galeri Pusat Kebudayaan, Jalan Naripan 9 Bandung, Jawa Barat mulai Sabtu, 3 – 13 Desember 2022, dan dibuka untuk umum.
Pelukis yang juga seorang Perwira Polisi aktif di Korlantas Jakarta, guru besar di PTIK, dan dosen di Universitas Indonesia ini menggelar pameran tunggalnya yang ke-10 dengan tema Memeto Mori (peringatan akan kematian).
Pameran yang dikuratori oleh Isa Perkasa (kurator Galeri Pusat Kebudayaan) dan dibuka oleh seniman senior Bandung, Herri Dim, juga dihadiri seorang kawannya, Kapolda Jabar Irjen Pol. Drs. Santana M.si.
Melihat karya-karya Chryshnanda yang tematik ini, mengingatkan manusia akan kematian yang sebetulnya adalah hak “prerogatif Tuhan”, namun manusia juga harus berusaha “melawan” ketakutan, kekhawatiran, keputusasaan, agar manusia tetap bisa dengan bekerja keras dan cerdas menghadapi pandemi Covid-19.
Dua tahun pandemi, hampir semua kegiatan usaha manusia “tiarap” bak penuh pesimisme. Namun manakala manusia sudah menemukan vaksin Covid-19, setidaknya ada cahaya kebangkitan peradaban manusia.
“Maka dari itu manusia dengan olah seni dan budayanya, bisa memajukan peradaban manusia,” kata Chryshnanda.
Kehadiran 69 karya ini, bisa ikut meramaikan kiprah seni rupa, seni lukis khususnya di Bandung dan sekitarnya. Apalagi kota Bandung juga sebagai pusat kegiatan seni budaya yang diperhitungkan.
Chryshnanda hadir dengan karyanya yang abstrak ekspessionisme namun penuh dengan pesan tersirat melalui simbol-simbol visual gambar yang mengandung pesan, optimisame, kesengsaraan, ada harapan, kesombongan, keangkuhan manusia, kemunafikan bahkan masuk dalam pesan spiritual.
Semua pesan dikemas dalam proses kreatif cipta dengan teknik yang berkarakter secara personal.
Dengan media akrilik di atas kanvas, Chryshnanda mampu mengakomodir sapuan kuas besar dengan “dleweran-dleweran” akrilik yang cair.
Sehingga hal ini justru menjadi kekhasan personal, tanpa membaca tanda tangan CDL (singkatan dari Chryshnanda Dwilaksana), orang sudah bisa menebak tepat bahwa itu karya khas Chryshnanda.
Chryshnanda kalau melukis tidak butuh waktu lama, bahkan melukis ukuran 2×2 meter saja bisa diselesaikan kurang lebih 20 menitan.
Banyak bangsa di seluruh dunia merasa ketakutan akan pandemi ini, namun sosok Chryshnanda sebagai seorang pelukis, menyikapinya dengan rasa optimis, penuh harapan, manakala justru dalam peristiwa pandemi yang menakutkan ini divisualkan di atas kanvas dengan penuh energi ekspresif.
Kandungan nilai atau pesan penuh harapan yang menebas rasa takut justru menjadikan sebuah inspiring bagi orang lain.
Salah satu karyanya yang berjudul: JANGAN TAKUT, 136×146 cm, akrilik di atas kanvas, dengan dominan latar belakang warna merah, digambarkan sosok malaikat yang sangat mengasihi manusia yang dalam kesengsaraan, kesakitan bahkan ketakutan menghadapi pandemi Covid tersebut.
Chryshnanda pandai bermetafora atau memvisualkan sebuah bentuk simbol semiotika gambar, sehingga penonton bisa bebas menafsirkan pesan atau arti dari lukisannya.
Hampir semua lukisan yang ditampilkan, dominan dengan warna merah. Dengan sapuan kuas besar yang tanpa beban, srat sret dan bat bet menunjukan kepiawaian teknik melukis yang sudah lama ditekuninya.
Konsistensi dan Percaya Diri
Chryshnanda tak hiraukan omongan orang dalam berkarya, maka dia adalah salah satu sosok pelukis yang konsisten dan percaya diri.
Teknik maupun pesan yang disampaikan selalu diselesaikan dengan olah pikir olah rasa dan perenungan batin membaca tanda-tanda zaman dengan tangkas, karena sosok Chryshnanda juga seorang pemikir.
Sosok yang mengarang buku Art Policing (2020) ini memang seorang penulis buku yang handal pula. Maka tak heran kalau Kapolri menugaskan Chryshnanda sebagai seorang peneliti di Polri.
Pelukis yang tak kesampaian (dulu) masuk STSRI ASRI ini, lantaran tidak diperbolehkan sang ayah karena alasan beaya, namun hobi dan cita -cita untuk mengekspresikan ide-ide dalam lukisannya tetap tidak padam, justru semaki menyala-nyala penuh semangat dan berenergi.
Jabatan dinas di kepolisian juga tidak menghalanginya untuk berkarya. Sosok yang penuh humor ini tidak pernah marah bahkan malah senyum tertawa, manakala ada seorang kawan bergurau bahwa: “Pak Chryshnanda ini profesi utamanya sebagai pelukis, sambilannya justru sebagai polisi”. (*)
Gatot Eko Cahyono, pemerhati seni.