NYATANYA.COM, Bantul – Rangkaian acara untuk membicarakan isu-isu strategis seperti lingkungan dengan peserta perwakilan dari negara-negara Indo Pasifik digelar selama dua hari di Kolkata, India, belum lama ini.
Acara bertajuk Reimagine and Reconnect: Indo-Pacific Synergies Through The Lens of Culture ini menghadirkan 40 pembicara dan 75 penari/pemusik antara lain dari Indonesia, Malaysia, Srilanka, India, Thailand, Myanmar, Filipina, Vietnam, Bangladesh, dan Amerika Serikat.
Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (PBI UMY), Puthut Ardianto termasuk yang dapat lolos seleksi mengikuti kegiatan tersebut setelah mengajukan proposal pada 2021 silam.
“Acara ini sebagai ajang bertemunya negara-negara Indo Pasifik untuk berdiskusi beberapa topik, seperti trade, maritime, environment and ecology. Konsep acaranya dikemas dalam sebuah pertunjukkan atau pentas budaya,” jelas Puthut.
Menurut Puthut yang juga ketua umum Asosiasi Eco-Printer Indonesia (AEPI), sejalan dengan program dan bidang yang ia tekuni, dalam konferensinya memilih tema, Environment and Ecology.
“Saya banyak mengungkapkan isu-isu lingkungan pada saat ini lalu dipresentasikan dalam pementasan budaya. Selanjutnya dibahas oleh para praktisi dan akademisi yang ahli di bidangnya,” urai Puthut.
Pada kesempatan tersebut, sebutnya Puthut, ia menyampaikan rasa prihatin kondisi lingkungan dan alam sekitar melalui sebuah pertunjukkan budaya yang berjudul Renja Dewangga, an Eco-Fashion and Cultural Walk.
Renja dalam Bahasa Latin berarti daun, sedangkan Dewangga dalam Bahasa Sansekerta bisa diartikan kain yang indah.
Pertunjukan ini merupakan kombinasi antara tembang macapat, tari klasik gaya Jogja, dan parade eco-fashion.
Pada awal penampilan, Puthut membawakan macapat Pangkur yang telah digubah dalam Bahasa Inggris.
Puthut lalu memainkan dua tokoh wayang Rama dan Sinta dengan membawakan dialog menyikapi isu-isu lingkungan terutama yang terjadi di Indonesia.
Antara lain memberikan gambaran maraknya trend fast fashion di masyarakat dan ketidakpedulian limbah fashion yang dihasilkan.
Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri, sebab bisa memicu berbagai dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Dialog antara Rama dan Shinta ditutup dengan sekar macapat Dhandanggula yang mengawali digaungkannya kampanye slow fashion movement dengan parade yang dibawakan oleh penampil dari India dengan mengenakan busana konsep slow fashion dengan teknik eco-printing.
Dalam pertunjukkan atau pementasan tersebut melibatkan dua mahasiswa UMY, yakni Duhita Kalyana Diwyacitta dan Muhammad Zacky Hidayat. Ada pula tiga penampil dari India, yaitu Sriradha Paul, Sameek Ghosh, dan Devasish Pradhan.
“Mereka mengaku merasa sangat bangga bisa mengenakan Saree sebagai pakaian khas India. Apalagi Saree yang mereka gunakan terbuat dari bahan-bahan ramah lingkungan dan motif yang dihasilkan dari tanaman yang ada di sekitar kita,” terang Puthut.
(*/N3)