NYATANYA.COM, Surakarta – Himpunan Mahasiswa Seni Murni FSRD ISI Surakarta mengadakan diskusi seni yang bertajuk Blockchain Impacts: Understanding Art Today di Gedung Sungging Prabangkara FSRD ISI Surakarta, Rabu (30/3/2022).
Diskusi seni digelar sebagai wadah mahasiswa untuk memperoleh informasi dan pengalaman baru dari narasumber profesional dan berpengalaman, sesuai dengan tajuk yang ditawarkan.
Blockchain Impact, wawasan ekosistem seni yang baru bagi mahasiswa seni pada era metaverse, diskusi seni ini diharapkan dapat membuka wawasan mahasiswa serta stakeholder lain di FSRD ISI Surakarta yang berkecimpung dalam dunia seni.
Sehingga bisa terus berkembang, terutama penyesuaian diri terhadap teknologi yang bisa memberikan dampak positif bagi ekosistem seni itu sendiri.
Acara ini menjadi agenda tahunan rutin yang diadakan oleh HIMA Seni Murni di bawah naungan Prodi Seni Murni FSRD ISI Surakarta, untuk memfasilitasi mahasiswa tentang pengetahuan perkembangan dunia seni saat ini, khususnya perkembangan seni berbasis teknologi blockchain di dunia metaverse.
Perlu dipahami bahwa blockchain ini merupakan sistem teknologi penyimpanan data digital yang terhubung dengan kriptografi.
Belakangan, blockchain ini santer terdengar melalui NFT (Non Fungible Token) yang merupakan bagian dari teknologi blockchain tersebut.
Acara ini menghadirkan empat narasumber profesional dalam lingkup seni yang berpengalaman dalam teknologi blockchain yaitu Sudjud Dartanto, S.Sn., M.Hum. (kurator/peneliti seni dan teknologi blockchain); Detty Wulandari (kolektor NFT); Rudi Hermawan (Kreator NFT dari Krack Studio); dan Mantul Seni (Kolektif Seni).
Diskusi seni ini dibuka oleh Wakil Dekan III FSRD ISI Surakarta, Ahmad Fadjar Arianto, S.Sn., M.A., dan dimoderatori oleh Deni Rahman S.Sn., M.Sn. selaku dosen dan pembimbing HIMA Seni Murni FSRD ISI Surakarta.
Dalam paparannya Sudjud Dartanto membagikan pengalaman penelitiannya terhadap teknologi blockchain, yang berangkat dari fenomena viralnya NFT pada tahun 2021 lalu, khususnya di Indonesia.
NFT sendiri adalah aset digital yang unik dan tidak dapat dipertukarkan dan tersimpan dalam blockchain.
Menurut Sudjud, teknologi blockchain ini memberikan peluang yang cukup besar kepada seniman untuk merambah pada eksosistem seni yang baru dan lebih luas berbasis komunitas melalui NFT Art.
Dalam NFT, terutama NFT Art yang berbasis seni, seniman tidak lagi mengusung ekosistem yang ‘centralized’ dan konvensional, dimana seorang seniman hanya terpusat pada proses produksi dan ketergantungan terhadap galeri, balai lelang ataupun proses kuratorial yang panjang, tetapi juga dapat berperan sebagai pembuat konten bahkan kurator, sekaligus dapat bertemu dengan banyak orang secara peer to peer.
“Data digital yang menjadi value dari seniman dan karyanya, tersimpan dalam penyimpanan data blockchain, dan tidak dapat diintervensi oleh siapapun,” terang Sudjud.
Senada dengan Sudjud, Detty Wulandari, sebagai salah satu kolektor NFT, mengamini bahwa peluang seniman dalam ekosistem seni sangatlah besar.
Ia mengatakan bahwa seniman dapat mengontrol penuh karyanya, termasuk pasar yang diinginkan, karena orisinalitas karya dari seniman, serta data apapun yang terkait dengan karyanya yang dapat menjadi ekosistem dari seni dan karya itu sendiri, dapat dibuktikan dengan kode unik dalam sertifikat digital, yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun.
“Data tersebut nantinya akan terverikasi oleh seluruh validator (pengguna NFT) yang datanya tersimpan dalam big data blockchain yang tersebar di seluruh dunia,” jelasnya.
NFT bagi Detty, menawarkan sistem baru yang lebih mudah, efisien dan visioner dalam ekosistem seni, salah satu contoh real-nya adalah seniman dapat terus menerima royalti dari penjualan karyanya meski sudah berpindah tangan lebih dari satu kali, bahkan ketika seniman sudah meninggal hanya dengan pengaturan sistem yang akan terus berlangsung secara peer to peer.
Blockchain mempermudah seniman untuk mendapatkan “hak-nya” karena data digitalnya tersimpan pada sistem penyimpanan blockchain, dan dapat di tracing dengan mudah, tidak seperti cara konvensional pada ekosistem seni sebelumnya.
Sebagai penutup acara, narasumber lain tidak kalah menarik pemaparannya. Rudi Hermawan membagikan pengalamannya tentang bagaimana proses dirinya berada pada masa transisi dan peralihan ekosistem seni yang konvensional ke ekosistem seni yang lebih baru melalui blockchain dan NFT, yang mana kemudian ia mencoba untuk menjajaki NFT dalam proses berkaryanya.
Sementara Mantul Studio, juga membagikan pengalaman bagaimana NFT, sebagai media berkaryanya, memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap perekonomian sebuah studio seni yang awalnya hanya bermodalkan asas gotong royong.
Dua narasumber terakhir tersebut, seolah ingin memberikan motivasi kepada peserta untuk tidak takut berkembang dan menjajal hal baru yang dapat memberikan impact yang lebih baik dalam ekosistem seni daripada ekosisten yang konvensional.
(*/N1)