NYATANYA.COM, Yogyakarta – Persoalan yang berakar dari migrasi dan perpindahan (maupun pemindahan), pada pokoknya memiliki simpul yang sama, yaitu watak dunia yang didominasi oleh kapitalisme, sejak zaman imperialisme, kolonial hingga sekarang.
Kawasan Oseania tentunya tidak terlepas dari perkara-perkara tersebut, malahan menjadi sesuatu yang krusial dan penting dibicarakan dalam konteks kewilayahan ini.
Salah satunya, fenomena beberapa negara di Oseania menggantungkan perekonomian mereka pada remitansi dari pekerja migrannya, yang menunjukan peristiwa migrasi merupakan hal yang jamak terjadi disini.
“Untuk itu kami merespon fenomena tersebut dengan mengajukan judul “Roots < > Routes” yang berusaha membentangkan spektrum persoalan antara akar budaya dan mobilitas, seperti perihal kepribumian (indigeneity) dengan rasialisme; batas-batas teritorial (territorial borders) dengan diaspora; mitologi dengan modernitas; ekstraksi sumberdaya alam dengan krisis ekologi; hingga ideologi pembangunan yang menggerus pengetahuan tempatan dan kaitannya dengan batas-batas pertumbuhan (the limit of growth),” ujar Ladija Triana, Manajer Program Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 dalam keterangan resminya.
Konsep mengenai “roots and routes” sendiri telah lama dikaji dalam berbagai studi antropologi dan sosiologi untuk mendiskusikan bagaimana keterikatan atau ketercerabutan antara manusia dengan lokasi geografis memiliki arti penting dalam pembentukan sebuah kebudayaan.
“Melalui judul “Roots < > Routes” — harapannya perhelatan seni rupa kontemporer ini menjadi wadah untuk saling belajar dan mendengarkan usaha-usaha dalam mengartikulasikan kehidupan kita serta memaknai dunia yang kian mengglobal namun tidak homogen ini—melalui karya-karya seni yang kami hadirkan,” imbuh Ladija.
Karya-karya yang hadir dalam ruang pamer memiliki semangat yang sejalan dan saling melengkapi hingga pameran ini bisa dibaca secara utuh sebagai satu karya besar bersama dalam membicarakan isu-isu sosial politik kontemporer di kawasan Oceania.
Isu-isu itu kemudian dapat kami kelompokkan dalam beberapa tema, yaitu tema diaspora, diwakili oleh seniman Edith Amituanai (Samoa/Auckland), Maria Madeira (Timor Leste-Perth), Shivanjani Lal (Fiji/Australia-London); tema perempuan digarap oleh Salima Hakim (Indonesia-Tangerang), Ika Arista (Indonesia-Sumenep), Sriwati Masmundari (Indonesia-Gresik).
Sementara tema pengetahuan lokal diangkat oleh Lakoat.Kujawas (South Central Timor), Simão Cardoso Pereira (Timor Leste-Dili), Mella Jaarsma & Agus Ongge (Netherland-Yogyakarta/Indonesia-Sentani), Dyah Retno (Indonesia-Yogyakarta).
Dan tema keberpihakan sosial sangat terasa pada karya Arief Budiman, Harun Rumbarar & Max Binur (Indonesia-Yogyakarta/Jayapura/Sorong), Vembri Waluyas (Indonesia-Jayapura), Ersal Umammit (Indonesia-Ambon), Nicolas Molé (New Caledonia- Nouméa), Radio Isolasido (Yogyakarta), Broken Pitch x uanga Culture (Yogyakarta/Maluku
Utara).
Pada karya-karya Edith misalnya, banyak bertutur soal pengalaman keseharian di komunitas diaspora Oceania, ditengah masyarakat urban perkotaan, ruang tempat keluarga-keluarga yang bermigrasi membangun kehidupan baru mereka.
Dalam seri foto ini, Edith mengeksplorasi ruang personal keluarga diaspora Samoa di Anchorage, Apia dan Auckland. Amatannya terhadap cara komunitas diaspora Samoa menata ruang pribadi dan usaha agar rumah tidak hanya menjadi bangunan fisik, tetapi juga tempat yang bersifat spiritual, personal, intim dan imajinasi bagaimana
mereka mengingat budaya nenek moyang.
Edith Amituanai yang lahir 1981 di Selandia Baru adalah seniman diaspora Samoa yang aktif bekerja di Tāmaki Makaurau, Auckland.
Karya-karya Maria Madeira banyak menyandingkan antara kerajinan tangan yang kerap dianggap seni tradisional dengan seni kontemporer, antara masa lalu dan masa sekarang.
Bagi Maria, tekstil dan kerajinan, dipadukan dengan teknik-teknik yang berasal dari pengetahuan tempatan merupakan bahasa ungkap paling tepat untuk menyampaikan kegelisahannya soal diskriminasi dan kekerasan gender yang masih banyak terjadi di banyak tempat termasuk Timor-Leste.
Maria Madeira lahir di Gleno, Timor-Leste. Dievakuasi oleh pasukan udara Portugis pada tahun 1976 saat terjadi penyerangan oleh Indonesia. Ia menghabiskan 8 tahun berikutnya di kamp pengungsi Palang Merah di Lisbon, Portugal.
Pada tahun 1983 ia memutuskan untuk migrasi dengan keluarganya ke Australia. Maria mendapatkan gelar sarjana dan magister seni dari Curtin University (1991; 1993), lalu mendapatkan gelar sarjana keduanya di bidang ilmu politik dari Murdoch University (1996). Tahun 2019 lalu ia mendapatkan gelar doktor filosofi dan seni dari Curtin University.
(*/Aja)