NYATANYA.COM, Surakarta – Gedung tua itu masih terlihat kokoh. Padahal, usia gedung yang terletak di Jalan Gajah Mada No 59 di jantung kota Solo itu, sudah lebih dari satu abad berdiri.
Itulah gedung yang kini punya nama Monumen Pers Nasional – menyimpan banyak koleksi catatan, dokumen, dan benda-benda yang memiliki nilai sejarah perjuangan pers di Indonesia.
“Gedung ini sudah dimasukkan sebagai Cagar Budaya Tingkat Nasional sejak 5 November 2015 lalu,’’ ujar Widodo Hastjaryo, Kepala Monumen Pers Nasional yang kini menjadi salah satu Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.
Widodo bercerita bahwa pemrakarsa pembangunan gedung adalah KGPAA Mangkunegara VII pada 1918 silam. Desainer gedung adalah seorang arsitek pribumi Mas Aboekassan Atmodirono.
“Gedung itu semula dibuat untuk tujuan sebagai tempat pertemuan para kerabat Mangkunegaran,” tutur Widodo di tengah perayaan puncak Hari Pers Nasional, 9 Februari 2022 lalu di Kendari.
Dalam kesempatan itu, Widodo juga membagikan buku bertajuk “Monumen Pers Nasional – Spirit Journalist of Indonesia” kepada para wartawan dan mahasiswa yang tergabung dalam pers kampus di IAIN Kendari.
Buku itu berisikan mengenai sejarah dan peran Monumen Pers Nasional dalam perjalanan dinamika perjuangan dan perjalanan pers nasional sebelum kemerdekaan Republik Indonesia – hingga di masa kini.
Sebelum menjadi Monumen Pers Nasional, gedung itu dikenal sebagai Societeit Sasono Suko Mangkunegaran. Tempat berkumpulnya keluarga besar Mangkunegaran. Tempat itu, juga sering disebut Kamar Bola karena di dalamnya terdapat meja bilyar.
Tak banyak yang tahu bahwa di tempat inilah juga lahir stasiun radio pertama yang dikelola oleh pribumi. Pada 1933, Sarsito Mangunkusumo dan sejumlah insinyur lainnya merintis Solosche Radio Vereeniging, radio publik pertama di Solo yang menggunakan Bahasa Indonesia dan dioperasikan putra pribumi Indonesia.
Ketika usia Republik Indonesia belum genap setahun, para wartawan yang juga sekaligus pejuang kemerdekaan memanfaatkan gedung itu sebagai tempat pelaksanaan konferensi wartawan.
Kebanyakan pesertanya memang wartawan dari Pulau Jawa. Tetapi wartawan dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi juga tidak mau ketinggalan untuk menghadiri konferensi tersebut.
Diawali dengan pembicaraan sejumlah wartawan di Yogyakarta, yang ketika itu menjadi Ibu Kota Republik Indonesia pada penghujung 1945. Pada 25 Januari 1946, dibentuklah Panitia persiapan pertemuan wartawan Indonesia yang dijadwalkan akan diselenggarakan di Solo 9 – 10 Februari 1946.
Sembilan orang tokoh pers ditunjuk sebagai Panitia Pertemuan. B.M Diah didaulat sebagai Ketua Panitia, Wakilnya Sumantoro, dan Sekretaris Mr. Sumanang.
Sementara Bendahara dipegang oleh R. Mashudi Darmosugito dengan anggota Safiudin, R.M. Sadono Dibjowirojo, R.M. Darmosugondo, Surono dan Sulistio. Tiga orang terakhir adalah warga Solo.
Maka pada 9 Februari 1946, di Gedung Sasonosuko Solo dilangsungkan Konferensi Wartawan asal Indonesia yang pertama kalinya. Maksud dan tujuan pertemuan wartawan Indonesia di Solo itu, sebagaimana hasil pembicaraan sebelumnya adalah untuk membentuk wadah organisasi wartawan.
Dalam konferensi bersejarah itu, tercatat ada sekitar 50 wartawan berkumpul. Walaupun di antaranya ada yang mengalami kesulitan – karena sempat dihadang oleh barikade tentara Belanda yang masih ingin menguasai Indonesia – namun mereka tak pernah putus asa.
Sebut saja tokoh pers Manai Sophiaan dari Makassar yang harus menggunakan kapal dan dilanjutkan dengan perjalanan darat dengan menggunakan bus umum untuk mencapai Solo.
Dalam konferensi juga hadir Menteri Penerangan waktu itu Moch. Natsir dan Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjariffudin. Dalam sidang pada 9 Februari 1946 itu, yang berlangsung hingga larut malam, para wartawan sepakat memberi nama perhimpunan bagi wartawan Indonesia ialah
“Persatuan Wartawan Indonesia”. Ketika itu secara aklamasi terpilih Mr. Soemanang sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang pertama.
Pada peringatan 32 tahun usia Persatuan Wartawan Indonesia, tepatnya 9 Pebruari 1978, Presiden Soeharto meresmikan Monumen Pers Nasional. Sebelumnya, pada 1973 Pemerintah sudah menetapkan Gedung Sasono Suko Solo sebagai Monumen Pers Nasional menyusul tanahnya disumbangkan oleh Keluarga Keraton Mangkunegaran kepada negara.
Maka tak heran kalau perayaan Hari Pers Nasional – setiap 9 Februari – selalu dikaitkan dengan hari lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
“Sejarah pers Indonesia tidak bisa lepas dari Monumen Pers Nasional,’’ ujar Usman Kansong, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik.
Menurut Usman, Monumen Pers sebagai museum memang menyimpan masa lalu, masa perjuangan pers. Tetapi di era digital ini, Monumen Pers juga menjadi wahana yang dapat mengantarkan masa depan pers Indonesia.
Banyak narasi sejarah perjuangan pers, memorabilia dan benda-benda milik wartawan yang disumbangkan serta penerbitan media yang pernah ada di masa lalu – bahkan ada yang usianya sudah lebih dari seabad – sudah ditransformasikan menjadi digital.
“Ini bisa menjadi inspirasi dan menjadi bahan pelajaran bagi wartawan generasi muda,” katanya.
Menyimpan Kenangan Wartawan Legenda
Monumen Pers Nasional, ialah museum yang menyimpan benda-benda bersejarah yang terkait pers, dari mulai koran dan majalah kuno hingga koleksi barang seperti mesin ketik, pemancar radio, kamera, hingga memorabilia sejumlah tokoh wartawan nasional.
Di antaranya ada mesin tik milik Bakrie Soeraatmadja, Pemimpin Redaksi koran Sipatahoenan, yang terbit pertama kali di Tasikmalaya pada 1923.
Sementara ada koleksi wartawan kawakan asal A.A. Hamidhan dari Tapin, Kalimantan Selatan. Di situ ada barang-barang seperti radio, kacamata, ballpoint, dasi yang kerap digunakan oleh Hamidhan yang pernah menjadi anggota redaksi Bintang Timur yang terbit di Jakarta.
Pada 1929, beliau menjadi pemimpin redaksi surat kabar Bendahara Borneo (1929), Soeara Kalimantan (1930-an), Kalimantan Raya (1942), dan Borneo Shimbun (1945).
Ada juga peralatan terjun payung milik Trisno Yuwono. Wartawan yang gemar terjun payung itu pernah menjadi redaktur koran Pikiran Rakyat (Bandung) dan kemudian menjadi wartawan TVRI di 1970-an.
Koleksi yang juga dimiliki Monumen Pers Nasional adalah baju dan celana dari Hendro Subroto yang juga dikenal sebagai wartawan perang. Ia antara lain meliput Operasi Kilat penumpasan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar di Sulawesi Tenggara pada Januari – Februari 1965.
Hendro berhasil mengabadikan jenazah Kahar Muzakkar yang tergeletak di luar rumah bambu persembunyiannya di desa Laiyu dekat sungai Lasolo. Hasil liputan Hendro yang ditayangkan di TVRI berhasil meyakinkan Bung Karno bahwa jenazah itu benar-benar jenazah Kahar Muzakkar.
Ketika meliput perjuangan integrasi di Timor Timur, pada November 1975 Hendro menderita sejumlah luka berat ketika ia membuat laporan pertempuran di palagan Fatularan, dalam upaya perebutan Posto Atabae, di Bobonaro.
Ia tertembak di dada kanan atas, ibu jari kanan dan pipi kanan terserempet peluru. Hendro kemudian dievakuasikan ke rumah sakit di Atapupu, NTT. Pakaian wartawan yang dikenakan Hendro Subroto pada saat tertembak menjadi koleksi Monumen Pers Nasional saat ini.
Tak hanya di Indonesia, Hendro juga meliput perang saudara di Kamboja antara pasukan Pemerintah Republik Kamboja pimpinan Jenderal Lon Nol melawan pemberontak komunis Khmer Merah yang didukung oleh Viet Cong.
Pada 1985, Hendro menyusup masuk ke Kamboja dari Aranyapratet, Thailand, menuju ke beberapa daerah kantong gerilyawan pasukan Pemerintah Koalisi Kamboja di bawah pimpinan Pangeran Norodom Sihanouk.
Sebelumnya Hendro juga meliput Perang Vietnam di 1980-an ketika pembebasan tentara AS oleh Vietnam dan Perang Teluk pada 1991.
Koleksi lainnya yang dimilik oleh Monumen Pers Nasional adalah kamera milik Fuad Muhammad Syafrudin yang juga dikenal dengan panggilan Udin – seorang wartawan Harian Bernas di Yogyakarta.
Ia dianiaya oleh orang tidak dikenal, dan kemudian meninggal dunia. Sebelum kejadian ini, Udin kerap menulis artikel kritis tentang kebijakan pemerintah Orde Baru.
Lebih jauh ,Widodo menyatakan Monumen Pers saat ini juga telah memiliki wajah baru, atau tepatnya terlahir kembali menjadi lebih modern dengan pendekatan penyajian informasi berbasis teknologi informasi yang menarik perhatian para pengunjungnya.
“Dahulu Monumen ini lebih terlihat gelap dan serba kuno. Kini sosoknya lebih modern dan semua koleksi media cetak, termasuk yang terbit sejak seratus tahun silam, sudah dibuatkan versi digitalnya,” ujarnya.
Menurut Widodo, penyajian informasi yang dahulu berupa teks dokumen, koran maupun majalah saat ini sudah bertransformasi menjadi digital. Dengan pemanfaatan teknologi ini, segala jenis informasi akan lebih mudah diakses oleh masyarakat.
“Banyak sejarawan dan penulis sejarah yang datang ke Monumen Pers memanfaatkan dokumen yang ada,’’ katanya lagi.
(*/N1)
Sumber: InfoPublik.id